Meracik Nilai, Meredam Gaya

Oleh: Indra Abdurohim*
Muqadimah
     Pada suatu masyarakat dimana pertumbuhan nilai-nilai luhur semakin minimal sedangkan gaya hidup (lifestyle) semakin maksimal, yakni ketika persoalan lifestyleyang cenderung berkiblat ke dunia Barat yang harus selalu up to date dijadikan alasan segalanya dalam berkehidupan.Ketika itulah aspek nilai semakin terkikis habis, perhatian agamawan, ilmuan dan pejabat publik sekalipun menjadi barang langka.
    Demikian menjamurnya gaya kehidupan modern yang menawarkan budaya tampilan sehingga memaksa bangsa ini menjadi konsumennya. Padahal bila kita cermati gaya hidup kaula muda saat ini khususnya kalangan remaja, seseorang yang dikatakan “gaul” ialah orang berpenampilan sempurna diluar, memakai celan jeans dan berpakaian “hot” atau seksi seperti yang diperagakan media televisi (TV) belakangan ini. Pola makan dan minumnya pun haruslah mengikuti pola periklanan di TV yang kebanyakan didominasi merk-merk asing.
    Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa persoalan budaya modern, terutama dalam gaya hidup ialah persoalan “fun, food, and fashion” (Kesenangan, makanan, dan busana) seperti halnya yang telah diungkap oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam “Megatrends 2000”.
     Fokus budaya modern seperti itulah yang memang telah suskes menggaet gaya hidup masyarakat Indonesia, terutama kaula muda. Idi Subandi dalam “Budaya Populer Sebagai Komunikasi” mengatakan bahwa “kini adalah abad gaya hidup, dimana penampilan adalah segala-galanya”.Penampilan-penampilan ini mencakup dalam; penampilan fashion seperti mode berpakaian; penampilan dalam kesenangan seperti musik, film, dll; serta penampilan makanan yang dianggap trendi seperti Mc Donald, Coca cola, dsb.Inilah yang kemudian Subandi istilahkan dengan “Kamu bergaya, maka kamu ada!”Sebuah plesetan dari “Cogitu Ergo Sum”-nya Descartes.
     Budaya gaya yang lebih mengutamakan cangkang daripada isi inilah yang sekarang mendominasi dan menghiasi pola kehidupan masyarakat. Dominasi ini telah sukses menghasilkan kesenangan dan kepuasan yang sifatnya semu. Dikatakan semu, karena pola hidup yang telah menjadi adat kebiasaan ini hanya menghasilkan keindahan-keindahan hampa yang dipertontonkan dengan sangat menakjubkan. Allah Berfirman:
“Dan diantara manusia adayang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.Dan apabila ia berpaling dari (kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman, dan binatang ternak dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” (Q.S Al-Baqarah: 204-205)